Antara 50 Hz dan 60 Hz
Frekuensi, selain tegangan dan
arus, adalah besaran yang akan dikonfirmasi oleh setiap orang yang akan memakai
suatu peralatan listrik. Jawabannya pun hanya antara 50 Hz dan 60 Hz, asal
frekuensi peralatan tersebut sudah cocok dengan jaringan listrik yang ada maka
alat tersebut akan baik-baik saja. Selama ini kita tahu dan menerima saja bahwa
ada dua jenis frekuensi yang dipakai di sistem tenaga, namun, mengapa 50 Hz dan
60 Hz? Tulisan ini akan mengulas singkat tentang frekuensi-frekuensi tersebut
pada sistem tenaga listrik kita.
Frekuensi
Frekuensi secara umum dapat
diartikan sebagai jumlah kemunculan suatu kejadian yang berulang pada suatu
jangka waktu tertentu. Frekuensi didefinisikan sebagai jumlah periode gelombang yang terjadi selama 1 detik.
Mengacu pada SI, satuan frekuensi adalah Hertz yaitu jumlah siklus per detik.
Nama ini diberikan sebagai penghargaan kepada Heinrich R. Hertz atas
kontribusinya pada bidang gelombang elektromagnetik.
Pada
sistem tenaga listrik, istilah frekuensi diasoasikan dengan frekuensi tegangan
dan arus listrik. Frekuensi ini diperoleh dari kombinasi jumlah putaran dan
jumlah kutub listrik pada generator di pembangkit listrik. Pada awal sejarah
munculnya listrik, pemahaman terhadap frekuensi tidak seperti yang sekarang ini
kita semua pahami. Pada masa itu frekuensi lebih dipahami sebagai banyaknya
jumlah perubahan polaritas (alternasi) per menit, akibatnya pada masa tersebut
banyak kita temui frekuensi sistem tenaga yang apabila kita ubah ke definisi
frekuensi modern akan menghasilkan angka yang tidak lazim, seperti 83 Hz atau
133 Hz.
Perkembangan Frekuensi pada
Sistem Tenaga Listrik
Kita kembali ke sekitar tahun 1890an dimana listrik masih baru
mulai berkembang. Pada masa itu listrik masih bersifat lokal, tidak ada
transmisi jarak jauh, tidak ada interkoneksi, dan beban utama adalah
penerangan. Akibatnya adalah muncul bermacam-macam frekuensi listrik yang
beroperasi tergantung pada perusahaan penyedia generator pada pusat pembangkit
lokal.
Di Amerika Utara, Westinghouse memilih mengoperasikan generator
buatannya pada 133 Hz, sementara Thompson-Houston (sebelum nanti namanya
berubah menjadi General Electric) menggunakan generator yang beroperasi
menghasilkan 125 Hz. Di Britania Raya, frekuensi sistem bervariasi mulai dari
83 Hz hingga 133 Hz. Frekuensi yang beroperasi di eropa daratan juga bervariasi
mulai dari 30 Hz hingga 70 Hz. AEG dari Jerman menggunakan frekuensi 40 Hz
untuk mentransmisikan listrik sejauh 175 km ke Frankfurt, MFO dari Swiss
menggunakan frekuensi 50 Hz untuk mentransmisikan listrik ke pabriknya,
sementara Ganz dari Hungaria menggunakan 42 Hz untuk melayani konsumen beban
penerangannya.
Begitu banyaknya frekuensi yang muncul menawarkan kelebihan dan
kekurangan masing-masing, disamping juga mengakibatkan kebingungan tersendiri.
Beberapa hal yang menjadi pertimbangan untuk mendapatkan frekuensi yang paling
tepat, sesuai dengan teknologi dan karakteristik sistem tenaga listrik jaman
tersebut, diantaranya:
1. Frekuensi yang tinggi dengan
pertimbangan transformator
Semakin tinggi frekuensi operasi maka ukuran transformator akan
semakin kecil. Keuntungan menggunakan frekuensi yang lebih tinggi adalah biaya
produksi transformator akan bisa menjadi lebih murah.
2. Frekuensi yang rendah dengan
pertimbangan turbin-generator
Generator-generator pada masa tersebut umumnya diputar dengan
menggunakan sabuk yang terhubung ke turbin, seperti pada generator Westinghouse
yang menghasilkan frekuensi 133 Hz. Perkembangan selanjutnya adalah
menghubungkan langsung turbin dengan generator pada 1 sumbu, namun dengan
teknologi pada masa itu hanya bisa apabila putaran generator-turbin cukup
rendah, artinya frekuensi listrik yang dihasilkan juga rendah.
3. Frekuensi dengan pertimbangan
lampu penerangan
Beban utama yang dilayani sistem tenaga listrik pada saat itu
adalah beban penerangan. Beban penerangan menuntut frekuensi sistem yang tidak
rendah, karena akan mengakibatkan lampu yang berkedip-kedip. Frekuensi sistem
harus tinggi supaya kedip pada lampu tidak lagi terasa oleh mata manusia.
4. Perkembangan teknologi motor
listrik
Motor induksi mulai berkembang pada masa tersebut. Belum adanya
teknologi pengaturan kecepatan motor mengkibatkan motor akan berputar
proporsional dengan frekuensi sistem tenaga listrik yang ada. Produsen motor
listrik pada umumnya adalah perusahaan yang juga membuat generator sehingga
cenderung untuk memproduksi motor listrik yang sesuai dengan spesifikasi
frekuensi generator yang diproduksinya sendiri, misalnya MFO dari Swiss dengan
sistem 50 Hz. Apabila kita ingin menggunakan motor listrik tersebut, tentu saja
kita harus menyediakan sistem tenaga yang sesuai dengan spesifikasi frekuensi
motor tersebut.
Kompromi menjadi jalan tengah untuk mendapatkan frekuensi
terbaik dari sekian banyak persyaratan yang saling berlawanan tersebut. Angka
kompromi yang muncul pada masa itu adalah frekuensi pada kisaran 50 – 60 Hz.
Angka tersebut cukup rendah untuk teknologi pembangkitan, cukup tinggi untuk
mendapatkan transformator yang sesuai, dan cukup tinggi supaya kedip pada lampu
penerangan tidak terasa.
Tidak cukup jelas alasan mengapa pada akhirnya sistem tenaga
listrik Eropa berkembang dengan menggunakan 50 Hz, sedangkan sistem tenaga
listrik di Amerika Utara berkembang dengan menggunakan 60 Hz. Kembali pada
faktor produsen generator pada masa tersebut, selain itu sudah dimulainya
interkoneksi antar daerah yang bertetangga. Apabila suatu daerah ingin
digabungkan melalui interkoneksi, frekuensi yang dipilih harus sama dengan
frekuensi yang sudah ada sebelumnya yaitu 50 Hz atau 60 Hz.
Peta pemakaian jenis frekuensi di dunia (www.cites.illinois.edu)
Perdebatan lebih bagus mana 50 Hz atau 60 Hz akan selalu ada,
dan tidak akan pernah selesai. Para pengguna 60 Hz akan mengatakan bahwa sistem
50 Hz tidak seefisien 60 Hz pada penyaluran daya, transformator 50 Hz
membutuhkan belitan yang lebih besar, generator 50 Hz berputar lebih lambat
sehingga tidak seefektif generator 60 Hz. Di sisi lain, para pengguna 50 Hz
akan mengatakan bahwa rugi-rugi pada transformator 60 Hz akan lebih besar
karena ada rugi-rugi yang tergantung frekuensi operasi, frekuensi yang lebih
tinggi akan membatasi ukuran konduktor pada transmisi tegangan tinggi. Padahal,
apabila kita lihat kembali sekian banyak frekuensi yang pernah muncul pada
awal-awal perkembangan listrik, baik 50 Hz atau 60 Hz relatif sama saja
dibandingkan dengan frekuensi rendah 25 Hz ataupun frekuensi tinggi 133 Hz yang
pernah muncul dan beroperasi.
Akibat interkoneksi yang semakin meluas serta faktor
industrialisasi dan kolonialisasi juga, sekarang ini frekuensi 50 Hz digunakan
oleh kebanyakan negara di dunia, sementara 60 Hz populer di negara-negara
Amerika Utara. Jepang adalah kasus khusus karena menjadi negara yang memiliki
dua sistem frekuensi 50 Hz dan 60 Hz sekaligus.
Jepang: Negara Dua Frekuensi
Jepang
adalah salah satu negara yang unik di dunia dari sudut pandang frekuensi sistem
tenaga yang digunakan. Jepang memiliki dua frekuensi operasi, 50 Hz dan 60 Hz,
pada satu sistem interkoneksi secara sekaligus. Kejadian ini boleh dibilang
merupakan “kecelakaan”, pada awal keberadaan listrik di Jepang sekitar tahun 1890an.
Perkembangan listrik di Jepang timur dimulai dari Tokyo yang mengimpor
generator set dari AEG Jerman dengan frekuensi 50 Hz, kota-kota lain di Jepang
timur pun mengacu Tokyo dengan menggunakan frekuensi 50 Hz. Sementara itu,
untuk wilayah Jepang bagian barat, dimulai dari Osaka yang mengimpor generator
dari GE Amerika Serikat yang menggunakan frekuensi 60 Hz. Perkembangan
selanjutnya kota-kota di Jepang bagian barat mengacu pada Osaka dengan
menggunakan frekuensi 60 Hz.
Untuk menggabungkan dua
frekuensi yang berbeda, Jepang harus menggunakan sistem HVDC back to backsehingga daya tetap bisa saling mengalir ke
dua sistem frekuensi yang berbeda. Terdapat tiga gardu induk HVDC back to backuntuk menghubungkan kedua frekuensi
tersebut, yaitu di Higashi-Shimizu, Shin-Shinano, dan Sakuma. Total kapasitas
ketiga gardu penghubung tersebut adalah 1GW.
Pada kondisi normal, operasi interkoneksi dengan dua frekuensi
yang berbeda tidak menjadi masalah, apalagi dengan didukung oleh saluran
penghubung yang berkapasitas hingga 1 GW. Tetapi, Jepang mengalami masalah
akibat perbedaan frekuensi ini setelah gempa dan tsunami besar di daerah Tohoku
pada Maret 2011. Setelah gempa dan tsunami, total daya listrik yang hilang di
Jepang bagian timur mencapai 9.7 GW. Sementara saluran penghubung hanya mampu
total 1 GW, akibatnya daya yang dihasilkan oleh pembangkit di Jepang bagian
barat tidak bisa disalurkan untuk memenuhi defisit energi di daerah Jepang
timur. Praktis pada kondisi darurat seperti ini, sistem interkoneksi Jepang
seolah-olah terpisah menjadi dua bagian, 50 Hz dan 60 Hz.
Frekuensi di masa mendatang?
Perkembangan elektronika daya sudah sangat maju sekarang ini,
sehingga sampai pada kapasitas daya tertentu, frekuensi bukan menjadi masalah
lagi karena kita bisa mengubah sesuai dengan nilai yang kita inginkan. Pada
aplikasi-aplikasi khusus, frekuensi yang digunakan bukan lagi frekuensi
tradisional 50 Hz/60 Hz tetapi 400 Hz. Frekuensi ini kita temui pada sistem
kelistrikan pesawat terbang, kapal laut, kapal selam, dsb.
Namun
untuk aplikasi sistem tenaga skala besar, penulis rasa masih akan tetap
menggunakan frekuensi tradisional 50 Hz atau 60 Hz. Pertama karena kemampuan
daya dari peralatan elektronika daya belum bisa untuk aplikasi yang masif,
kedua karena infrastruktur kelistrikan yang sudah terbentuk saat ini, akan
membutuhkan modal yang sangat besar untuk mengubah dalam waktu singkat.
Source:
§ G. Neidhofer, 50-Hz frequency:
How the standard emerged from a European jumble, IEEE Power & Energy
magazine, Vol. 9, No. 4, July/August 2011.
§ Knowledge: Difference in power
frequency between western and eastern Japan (http://www.shimbun.denki.or.jp/en/knowledge/index.html)
§ Electric power around the world
(http://www.kropla.com/electric2.htm)
IEA,
Impact of earthquakes and tsunamis on energy sectors in Japan, http://www.iea.org
0 Response to "Antara 50 Hz dan 60 Hz"
Post a Comment